Kamis, 06 Juni 2013
In:
UNTUK KALIAN
"KARENA SEGALA SESUATU PASTI INDAH KALA WAKTUNYA"
Ya . . .semua pernah seperti ini...
Bukankah......
Setiap orang di dunia ini pernah memiliki salah dan masa lalu yang kelam . . .
Semua orang di dunia ini pernah merasa benci dan muak melihat kesalahan mereka . . .
Semua orang di dunia ini pernah ingin memakai topeng terbaik dalam hidupnya walau harus meminjam topeng orang lain..........
Bukankah kita pernah begitu, , , ,
Bukankah,aku atau dirimu pernah merasa sakit hati yang terlalu dalam sehingga setiap kali kau mengingat nama atau kejadian itu dadamu merasa sesak karena memendam amarah...
Bukankah,aku atau dirimu pernah ingin membuang masa lalu dan seandainya bisa menghapus memori kelam itu.....
Bukankah aku,atau dirimu pernah kecewa dengan seseorang yang kita percaya dalam hidup ini atau pernah merasa dihianati olehnya...
Ya,rasa itu ada dalam hati ,susah untuk di hapus , dan menghapusnya tak ada. . .
Tapi...
Bukankah selalu ada kata maaf , yang aku atau dirimu terima untuk semua itu. . .
Bukankah selalu ada perbaikan , yang mengganti semua keburukan itu. . .
Bukankah slalu ada senyum yang menutupi semua rasa sakit hati dan kecewa , amarah, dan benci , muak dan menyesal . . .
BUKANKAH SELALU ADA KEBAHAGIAAN YANG ADA DI DALAM SETIAP CERITA YANG AKU ATAU KAMU LALUI . . .
SEE THE PROBLEM FROM THE OTHER SIDE AND YOU'LL LEARNING
THE BEST GIFT FROM IT. . .
Selama ada maaf , cinta , dan kasih ....
Bukankah itu lebih dari cukup untuk mengubur rasa terburuk yang ada . . .
Yang harus kau lihat bukan apa yang telah mereka lakukan , tapi apa yang telah kau lakukan sehingga dia menyakitimu . . .
TERKECUALI , DIA MEMANG TAK PANTAS BAGIMU . . .
Aku , ya aku
Aku percaya,,,,,,
Semua badai akan berlalu ,terganti
dengan musim semi . . .
Setiap ulat butuh waktu untuk menjadi
kupu-kupu yang cantik . . .
Setiap manusia butuh proses untuk mendapatkan
kebahagiaannya , entah dia harus harus menangis ,
terluka, bahkan harus merelakan rasa sakit yang
pernah ada . . .,
KARENA SEGALA SESUATU PASTI INDAH KALA WAKTUNYA. . .
NB:
Untuk dia yang pernah mengajariku bahwa jangan pernah menyerah
karena manusia hanya bisa berdo'a dan melakukan yang terbaik,
Tuhan yang mengaturnya . . .
Untuk dia yang mengajarkan belajarlah bersabar dan ikhlas
dalam setiap cobaan yang datang dan membuat air mata menutupi senyum . . .
Untuk dia yang mengajarkan jikalau pasanganmu atau orang lain
berlaku keburukan janganpernah kau membalasnya dengan hal yang serupa
karena itu mengartikan kau sama buruknya . . .
Dan terima kasih karena telah menghapus
sedihku dan menggatinya dengan . .. ^_^ ;))
Akan terlihat ribuan kebahagiaan pada
saatnya nanti . . . .
^_^
Catatan 11 Agustus 2010
Surat dari Ayah diusia ke-17
"Aku tulis surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tau."
Nak, menjadi Ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku menanti hadirnya dirimu dulu belum hilang hingga saat ini, Kecemasan yang sangat indah karena ia di dasari dengan cinta. Sebuah cinta yang sudah aku rasakan bahkan sebelum yang dicintai itu aku temui.
Nak, menjadi Ayah itu mulia. Bacalah filusf dan pujangga, temukanlah betapa nasihat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang Ayah dan anaknya.
Meski begitu ketahuilah nak, menjadi ayah itu berat dan sulit, tapi aku akui betapa sepanjang masa kehadiranmu disisiku, aku seperti menemui keberadaanku terhadapmu. Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa paling indah dan sangat aku banggakan didepan siapapun. Bahkan di hadapan Allah, ketika aku duduk berhadapan dengan- Nya, hingga saat usia senja ini.
Nak, saat pertama kamu hadir ku cium dan ku cium engkau sebagai buah cinta ku dan ibumu. Sebagai bukti bahwa aku dan ibumu tak terpisahkan lagi oleh apapun juga.
Tapi seiring berjalannya waktu, ketika suatu kali kamu mampu berkata TIDAK saat aku memintamu untuk lebih fokus terhadap pelajaranmu dan tidak menghadurka seorang pria sebelum kau selesai pendidikan timbul kesadaranku siapa kamu sesungguhnya.
Aku sadar kamu bukanlah miliku atau milik ibumu bahkan milik seorang pria yang kamu kenalkan pada kami yang kelak mungkin akan menggantikanku untuk membimbingmu.
Aku sadar hadirmu bukan karena cintaku dan ibu mu, kamu adalah milik Allah. Tak ada hak ku menuntut pengabdian darimu, karena pengabdianmu semata-mata hanya untuk-Nya.
Nak, sedih, pedih, dan terhempaskan rasanya menyadari siapa sebenarnya aku dan kamu. Dan dalam waktu panjang di malam-malam sepi, kusesali kesalahan itu dengan air mata dihadapan Allah SWT. Syukurlah penyesalan itu mencerahkanku.
Sejak saat itu nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu pada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa selalu dekat denganNya.
Inilah usaha terberatku, karena artinya aku harus lebuh dulu memberimu contoh dekat denganNya.
Kemudian, kita pun memulai perjalanan itu tak pernah kamu ku hindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggenggam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain.
Saat kamu mengeluh letih berjalan aku akan menguatkanmu karena memang tak boleh berhenti, Nak. Berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hampir putus asa.
Akhirnya Nak, kelak saat nanti semua manusia di kumpulkan di hadapanNya aku ingin melihatmu berada dekat denganNya. Aku akan bangga Nak karena itulah bukti bahwa semua titipanNya dapat kita kembalikan pada pemilikNya.
Nak, dalam perjalanmu menuju kedewasaan aku tak akan melarangmu dekat dengan siapa pun selama kamu anggap orang itu baik untukmu, kamu sudah bisa membedakan akan keburukan dan kebaiakn, dengan tulus aku akan merestui segala langkah yang kamu ambil namun berpikirlah ketika kamu akan mengambil keputusan.
Aku hanya ingin kamu selalu menjaga nama baikmu, keluargamu, dan almamater yang kau pakai.
Dari ayah yang senantiasa selalu ada untukmu, air mata ini masih meneteas saat aku akan menutup surat ini, Nak.
Semoga kebehagiaan akan kalian dapat di dunia dan akhirat. Amin...
I STILL LOVE YOU DAD WHAT EVER YOU ARE...BUT IM SORRY I CAN NOT MAKE YOU HAPPY TO THIS DAY ...
I LOVE YOU DAD ... I LOVE YOU DAD ... I LOVE YOU DAD ...
REAL I LOVE YOU
AYAH....
Nak, menjadi Ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku menanti hadirnya dirimu dulu belum hilang hingga saat ini, Kecemasan yang sangat indah karena ia di dasari dengan cinta. Sebuah cinta yang sudah aku rasakan bahkan sebelum yang dicintai itu aku temui.
Nak, menjadi Ayah itu mulia. Bacalah filusf dan pujangga, temukanlah betapa nasihat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang Ayah dan anaknya.
Meski begitu ketahuilah nak, menjadi ayah itu berat dan sulit, tapi aku akui betapa sepanjang masa kehadiranmu disisiku, aku seperti menemui keberadaanku terhadapmu. Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa paling indah dan sangat aku banggakan didepan siapapun. Bahkan di hadapan Allah, ketika aku duduk berhadapan dengan- Nya, hingga saat usia senja ini.
Nak, saat pertama kamu hadir ku cium dan ku cium engkau sebagai buah cinta ku dan ibumu. Sebagai bukti bahwa aku dan ibumu tak terpisahkan lagi oleh apapun juga.
Tapi seiring berjalannya waktu, ketika suatu kali kamu mampu berkata TIDAK saat aku memintamu untuk lebih fokus terhadap pelajaranmu dan tidak menghadurka seorang pria sebelum kau selesai pendidikan timbul kesadaranku siapa kamu sesungguhnya.
Aku sadar kamu bukanlah miliku atau milik ibumu bahkan milik seorang pria yang kamu kenalkan pada kami yang kelak mungkin akan menggantikanku untuk membimbingmu.
Aku sadar hadirmu bukan karena cintaku dan ibu mu, kamu adalah milik Allah. Tak ada hak ku menuntut pengabdian darimu, karena pengabdianmu semata-mata hanya untuk-Nya.
Nak, sedih, pedih, dan terhempaskan rasanya menyadari siapa sebenarnya aku dan kamu. Dan dalam waktu panjang di malam-malam sepi, kusesali kesalahan itu dengan air mata dihadapan Allah SWT. Syukurlah penyesalan itu mencerahkanku.
Sejak saat itu nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu pada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa selalu dekat denganNya.
Inilah usaha terberatku, karena artinya aku harus lebuh dulu memberimu contoh dekat denganNya.
Kemudian, kita pun memulai perjalanan itu tak pernah kamu ku hindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggenggam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain.
Saat kamu mengeluh letih berjalan aku akan menguatkanmu karena memang tak boleh berhenti, Nak. Berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hampir putus asa.
Akhirnya Nak, kelak saat nanti semua manusia di kumpulkan di hadapanNya aku ingin melihatmu berada dekat denganNya. Aku akan bangga Nak karena itulah bukti bahwa semua titipanNya dapat kita kembalikan pada pemilikNya.
Nak, dalam perjalanmu menuju kedewasaan aku tak akan melarangmu dekat dengan siapa pun selama kamu anggap orang itu baik untukmu, kamu sudah bisa membedakan akan keburukan dan kebaiakn, dengan tulus aku akan merestui segala langkah yang kamu ambil namun berpikirlah ketika kamu akan mengambil keputusan.
Aku hanya ingin kamu selalu menjaga nama baikmu, keluargamu, dan almamater yang kau pakai.
Dari ayah yang senantiasa selalu ada untukmu, air mata ini masih meneteas saat aku akan menutup surat ini, Nak.
Semoga kebehagiaan akan kalian dapat di dunia dan akhirat. Amin...
I STILL LOVE YOU DAD WHAT EVER YOU ARE...BUT IM SORRY I CAN NOT MAKE YOU HAPPY TO THIS DAY ...
I LOVE YOU DAD ... I LOVE YOU DAD ... I LOVE YOU DAD ...
REAL I LOVE YOU
AYAH....
Tulisan Kelam
Kertas ini masih menuliskan kisahnya
Ia masih setia menemani hari – hariku
Menjadi saksi wisata waktu
Yang kita lalui dalam lembaran tahun
Sayang . . .
Kesetiaan tak selamanya kita genggam
Akui saja
Bukankan aku atau dirimu
Pernah saling berkhianat
Tak memperdulikan gemintang
Yang berkedip disamping rembulan
Ya . .
Sekarang biarkanalah semua itu
Terkubur menjadi memory kelam
Yang tak usah kita tangisi
PAHLAWAN TAMPAN
Tak sengaja kutemukan kembali
Potret sembialn belas tahun silam
Yang begitu usang
Ku lihat ada sosok pahlawan tampan
Yang menggendongku kala itu
Ayah . . .
Aku merindukan masa itu
Masa ketika berjalan menegelilingi kompek rumah
Berbagi curahan hati bersamamu
Masa ketika kita tidur di bawah taman bintang
Menceritakan mimpi – mimpi konyolku
Ayah . . .
Masa itu tak kudapati saat ini
Tubuh kokoh itu
Hari ini kutemui tengah duduk di kursi goyangnya
Karang yang selalu menjagaku
dari terjangan ombak
Hari ini hanya mampu memberiku pesan emasnya
“Nak, saat kau mengeluh letih berjalan
janganlah kau berhenti
Berhenti berarti mati, Nak”
Ayah . . .
Petuahmu akan slalu ku ingat
Cintamu kekal dalam relung hatiku
Terima kasih Ayah
Tlah menjagaku dengan kasih sayang
Tak ada yang bisa ku pesembahkan
Hanya ini yang ku punya
Sebentuk puisi dari ketulusan hati
Ayah aku mencintaimu !!!
MARU
Hari
ini adalah ulang tahun Naira. Sebagai kekasih tentunya Maru telah mempersiapkan
pesta sederhana dengan balutan keromantisan hanya untuk mereka berdua. Namun
Naira tak kunjung datang. Maru mulai gelisah, ia tak bisa hanya berdiam diri
menunggu Naira, berapa kalipun ia menghubungi Naira sama sekali tak ada
jawaban. Maru berusaha berpikir positif dan menunggu Naira beberapa menit lagi
ia kembali mencoba menghubunginya kembali kali ini ada jawaban, tetapi
sepertinya ada yang aneh, ada jeritan meminta tolong dan suara bantingan dari
sebuah benda keras. “Tolong . . ., tolong..., awww sakit,” suara jeritan itu
semakin jelas terdengar ditelinga Maru. Maru memenggil-manggil Naira, namun tak
ada jawaban pasti, tanpa berpikir panjang Maru bergegas menstater motornya
menuju tempat Naira melakukan liputan berita. Naira memang berprofesi menjadi
seorang reporter dari salah satu media surat kabar dan hari itu dia memang sedang
meliput berita dari kasus korupsi yang sedang marak di kalangan penjabat.
Sampai
di hotel Mutiara Maru belari secepat mungkin menuju tempat peliputan tersebut,
kebetulan sebelumnya Naira sudah mengatakan akan mengadakan liputan tersebut di
sebuah hotel di kamar 1056. Tanpa basa basi dengan hatinya Maru langsung
mendobrak pintu kamar tersebut dan apa yang ia lihat sungguh sulit dipercaya.
Maru mendapatkan Naira sedang menangis dengan pecahan gelas di tangannya dan
ada seorang pria bersimbah darah terlentang di hadapan Naira. Maru menutup
pintu kamar tersebut ia khawatir akan ada orang yang curiga saat melewati kamar
tersebut
Maru
memeluk Naira dengan erat, “Apa yang terjadi Naira?” Maru mencoba bertanya pada
Naira.
“Ma...ru...
ak...u,” Naira tak sanggup berucap ia terus saja mengangis dan memeluk Maru
semakin erat, Maru sangat merasakan ketakutan yang sedang dirasakan kekasihnya
itu, Maru tak memaksanya untuk berbicara ia menunggu hingga Naira merasa siap
untuk mengatakannya.
Setelah
berusaha mengumpulkan semua kekuatan hatinya Naira mulai menceritakan semuanya
pada Maru meskipun dengan nada yang sedikit tertahan oleh isakan air matanya,
“Maru..., aku..., sudah membunuh orang ini, aku takut Maru, aku takut sekali,”
ucap Naira tanpa ingin melepaskan pelukannya pada Maru. Mendengar semua itu
Maru sangat terkejut dan tak percaya atas apa yang dilakukan kekasihnya itu,
namun Maru mencoba untuk tetap tenang ia tak ingin membuat Naira semakin takut.
“Apa
yang dia lakukan hingga kau melakukan semua ini?” Maru bertanya dengan
hati-hati.
Naira
meceritakan kronologi kejadiannya pada Maru, “Maru..., dia..., dia mencoba
memperkosaku saat aku mewawancarinya, sedikitpun dia tak berbicara tentang
kasus ini, dia terus saja merayuku. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya, tapi
yang terjadi dia malah semakin menjadi-jadi. Saat aku berusaha untuk berontak
dia malah menamparku, aku terus berusaha sampai akhirnya tanganku meraih gelas
yang ada di atas meja aku memecahkan gelas itu dan langsung menusuknya. Apa
yang harus aku lakukan Maru?” Naira terlihat agak tenang setelah menceritakan
semuanya, namun ia masih merasa ketakutan. Naira takut ia akan masuk penjara.
“Tenanglah!!!
semua akan baik-baik saja, kamu cukup diam jangan katakan sesuatu sedikitpun,”
Maru melepaskan pelukannya dan ia menyingkirkan pria yang suadah tak bernyawa itu
dari hadapan Naira. Saat Maru mengangkat jasad pria tersebut terdengar ada
suara ketukan pintu, namun sebelum Maru membuka pintu seseorang di luar sana
memaksa masuk sendiri, betapa terkejutnya Maru melihat aparat polisi
berdatangan dan langsung mengamankan mereka berdua beserta jasad yang ada
dipangkuan Maru. Maru yakin ada orang yang merasa curiga atas aktivitas yang
terjadi di kamar ini dan langsung melaoprkannya pada aparat berwajib. Naira saat
itu hanya diam seperti apa yang Maru katakan padanya.
Polisi
langsung membawa Maru untuk dimintai keterangan, namun saat polisi akan membawa
Naira, Maru tidak mengizinkannya. “Ku mohon jangan tangkap dia!! Dia hanya
korban dan aku lah pembunuh pria itu karena dia mencoba memperkosanya,” Maru
tak sedikitpun melihat Naira ia berprilaku seolah tak mengenal Naira.
“Apa
kau mengenal wanita ini?” tanya seorang polisi sambil menoleh pada Naira.
“Aku
tak mengenalnya, aku hanya ingin menolongnya saat pria itu mencoba
memperkosanya, aku kehilangan kendali dan malah membunuh pria itu,” ucap Maru
dengan nada yang sangat datar. Naira hanya bisa menangis, dia ingin sekali
mengatakan semuanya, tapi Naira begitu ketakutan. Saat itu Maru berlalu dari
hadapan Naira dengan borgol di tangannya.
Keesokan
harinya Naira menjenguk Maru yang telah mendekam dipenjara.
“Ada
perlu apa kamu ke tempat ini, bukankah kalian tak saling kenal?” seorang polisi
sepertinya agak curiga dengan kedatangan Naira.
“Saya
hanya ingin mengucapkan terima kasih padanya,” jawab Naira singkat. Petugas
yang sedang berjaga tersebut langsung mengantarkan Naira pada Maru.
Keadaan
Maru cukup baik meskipun sebenarnya berada dalam penjara bukanlah hal yang
baik. Mereka duduk berhadapan, Naira terus memandang Maru begitu dalam. Melihat
hal itu Maru melemparkan senyumnya untuk mencairkan suasana yang sepertinya
agak kaku saat itu. Naira meneteskan air matanya dan memanggil nama Maru begitu
lirih, “Maru..., terima kasih, aku akan menunggumu, aku mencintaimu Maru,”
mendengar hal tersebut membuat Maru tak menyesal melakukan semua itu untuk
Naira.
“Terima
kasih untuk menungguku Naira.”
Naira
hanya menjawab dengan anggukannya sambil tersenyum, kemudian ia membahas
tentang kuliah Maru yang sebentar lagi akan selesai. “Maru, jika kamu seperti
ini bagaimana dengan kuliah kedokteranmu?”
“Sudahlah
tak usah memikirkan tentang itu, aku tak menyesal suatu hari nanti aku akan
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik asal kau mau menungguku!!” Maru berusaha
meyakinkan Naira.
“Baiklah
jika memang seperti itu!! Tampaknya aku harus segera pulang, besok aku akn
datang ke persidanganmu dan aku akan terus menjengukmu,” mereka saling
mengutkan satu sama lain untuk menghadapi masalah ini bersama-sama.
Akhirnya
pengadilan menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada Maru yang seharusnya
hukuman itu diterima oleh Naira. Maru tampaknya telah siap dengan segala hal
yang akan terjadi padanya, berbeda dengan Naira yang masih belum bisa menerima
putusan tersebut.
Hari
itu Naira kembali mengunjungi Maru, ia membawakan Maru makanan kesukaannya.
“Wahhh, kau membawakan makan siang,” ucap Maru begitu senang.
“Iya,
ayo cepat makan!”
Saat
Maru sedang menikmati makanannya, Naira menanyakan pada Maru apa yang haru dia
samapikan pada kakek Maru tentang keadaannyasaat ini karena selama ini maru
hanya tinggal bersama kakeknya semenjak orangtua Maru bercerai dan
menelantarkan Maru begitu saja. “Maru, apa yang harus aku katakan pada
kakekmu?” tanya Naira pada Maru.
Maru
bingung dan mulai berpikir, bagaimana supaya kakeknya tidak merasa khawatir
padanya, sampai akhirnya Maru memutuskan agar Naira bebohong pada kakeknya,
“lebih baik kau bilang pada kakek, aku sedang memfokuskan diriku untuk
menyelesaikan kuliah jadi dalam waktu yang lama aku tidak bisa menemuinya.”
Awalnya Naira kurang setuju, tapi pada akhirnya ia mengiyakan hala yang
dikehendaki Maru.
Sebelum
Naiara pergi Maru memegang tangannya dan mengatakan agar ia menjaga kakeknya,
“ku mohon jaga kakekku.”
Naira
mengangguk dengan senyumannya.
Tak
terasa sudah tiga tahun Maru berada dipenjara dan Naira masih setia mengunjungi
Maru, bahkan petugas di sana pun sudah tak lagi menanyakan alasan kedatangan
Naira berkunjung menemui Maru, mungkin mereka sudah bosan karena setiap hari entah
itu pagi atau siang dia datang untuk melihat keadaan Maru. Melihat semua itu
Maru merasa semakin kuat dan menikmati hari-harinya dipenjara, meskipun
orang-orang yang satu sel dengannya terkadang berlaku jahat padanya, namun Maru
tak memperdulikannya itu semua ia lalui dengan senang hati.
Siang
itu ada hal yang agak berbeda tak biasanya Naira datang terlambat dan hanya
sebentar mengunjungi Maru, tapi Maru tak ingin berpikir negatif mungkin saja
Naira sedang sibuk dengan pekerjaannya. Namun hari-hari berikutnya Naira
semakin berbeda ia seolah menjauh dari Maru, yang tadinya datang setipa hari
menjadi satu minggu sekali bahakan kemudian menjadi satu bulan sekali, lalu
satu tahun sekali sampai akhirnya Naira tak lagi mengunjungi Maru.
Cinta,
harapan, dan penantian tak lagi menjadi mimpi Maru, seyuman yang selama ini ia
peroleh tak lagi ia dapatkan. Maru menjadi sosok pendiam dan dingin, sedikit
ada orang yang menyinggungnya Maru tak segan melayangkan pukulan pada orang
tersebut, semua orang yang satu sel denganya merasa takut dan tak berani
melawan Maru.
Tepat
tujuh tahun Maru mendapat hukuman atas perbuatan yang tak pernah ia lakukan,
pengorbanannya hanya disia-siakan oleh wanita yang begitu ia cintai. Hari esok
Maru akan bebas, sebagai seorang mantan narapidana ia tak memiliki banyak uang
untuk penghidupannya di dunia luar dan tak mungkin ia datang ke rumah kakeknya
tanpa sepeser uang di tangannya.
Di
hari kebebasannya Maru datang ke sebuah clab malam, ini adalah kali pertama dia
mengunjungi tempat seperti itu bahkan Maru sendiri tak tau atas dasar apa dia
datang ke tempat seperti itu. Maru duduk di sebuah kursi dan melihat
sekelilingnya, tiba-tiba ada seorang pria tersungkur menabrak tubuh Maru, pria
itu berpenampilan mewah, namun sepertinya telihat seperti pria bodoh tak ada
hal yang menarik dari wajahnya yang terlihat menarik hanya jas dan jam
tangannya saja. “Maafkan aku..., Aku tak sengaja wanita itu mendorongku setelah
menghabiskan seluruh uangku, dasar wanita tak tau diri,” ucap pria bodoh tersebut
dengan tubuh yang sepoyongan karena dia sedang mabuk. Maru mencoba membantu
pria itu berdiri dan memapahnya keluar dari clab tersebut.
“Hei,
siapa kau? Kenapa kau membawaku keluar?” tanya pria tersebut.
“Kau
mabuk, jika terus berada di dalam dan membuat kekacauan kau bisa saja babak
belur dipukuli orang-orang,” tegas Maru padanya. Pria itu terus saja megoceh
tak jelas apa yang ia bicarakan.
Saat
Maru berajak pergi dari pria itu, ia malah menarik tangan Maru dan memintanya
untuk mengantar pulang, “heiii kau tak bertanggungjawab sekali, cepat antar aku
pulang!” pria itu seperti mencari sesuatu di kantong baju dan celanya, Maru
berpikir ia sedang mencari kunci mobilnya dan ternyata benar, pria tersebut
lalu menyodorkan kunci tersebut pada Maru. Maru memang sedikit kesal, tapi dia
merasa kasihan melihat pria itu. Akhirnya Maru mengantarkan pria itu ke sebuah
aparteman mewah.
Pria
tersebut mulai tersadar dari pengaruh alkohol yang sempat menguasai otaknya.
“Siapa namamu?” tanya pria itu pada Maru yang duduk di sampingnya.
“Maru,”
jawab Maru singkat.
“Aku
Negy,” ucap pria tersebut, namun sepertinya Maru tak ingin tau dan dia langsung
beranjak meninggalkan pria bernama Negy itu.
Maru
menghentikan langkahnya saat Negy menawarkannya sesuatu, “apa kau bisa
membantuku? jika kau bisa aku akan memberimu uang.”
Maru
hanyalah seorang mantan narapidana ia tak memiliki sepeser pun uang saat ini,
jika Maru bisa membantunya mungkin saja pria yang baru dikenalnya ini bisa
memberinya uang banyak mesikpun Maru tak yakin karena pria ini terlihat sangat
bodoh dan konyol, tapi Maru mencoba menerima tawaran daru Negy, “apa yang bisa
ku bantu?”. Negy terkejut ia tidak menyangka Maru mau membantunya.
Negy
menghampiri Maru yang masih berdiri di depan pintu apartemennya, “Wawww kau
serius akan membantuku?” dengan ekspresinya yang begitu konyol.
“Cepatlah
katakan apa yang harus aku lakukan!” Maru terlihat tak ingin basa basi
denganya.
“Heii,
ayolah duduk dulu kita bicarakan ini perlahan!” Negy menarik kembali Maru ke
tempat duduk. Maru sedikit khawatir ia takut pria ini adalah penyuka sesama
jenis.
“Apa
yang akan kau lakukan? Bicara saja di sini kau membuatku sedikit takut,” ucap
Maru sambil menatap Negy dengan agak heran.
“Yaaaaa,
apa yang sedang kau pikirkan? Aku bukan penyuka sesama jenis,” teriak Negy pada
Maru.
Maru
hanya tersenyum kecil, kemudian mengikuti Negy dan duduk berhadapan dengannya.
“ Jadi apa yang harus aku lakukan untukmu?” tanya Maru tanpa basa basi.
“Heii,
heiii bocah ini, sulit sekali diajak bicara santai,” gerutu Negy atasa sikap
Maru yang terburu-buru.
“Katakanlah
sebelum aku berubah pikiran,” Maru sedikit mengancam Negy agar dia tidak
terus-menerus bercanda.
“Baiklah,
baiklah..., aku ingin kau menjadi seorang gigolo,” ucap Negy dengan mudahnya.
Maru terdiam mencoba mencerna baik-baik apa yang diucapkan Negy, ia memandangi
Negy dengan tatapan yang begitu kesal. Jelas saja Maru kesal baru saja kenal
tiba-tiba pria itu menyuruhnya menjadi seorang gigolo.
“Kau
sudah gila, aku tidak mau!!” Maru langsung meninggalkan Negy, namun Negy
menariknya.
“Dengarlah,dulu
aku belum selesai!!” Negy menarik tangan Maru dan menyuruhnya duduk kembali.
Maru mencoba mengerti dan mendengarkan penuturan dari Negy.
“Aku
tidak akan menyuruhmu menyerahkan keperjakaanmu, kecuali kau sendiri yang
menginginkan keperjakaanmu terenggut oleh wanit-wanita gila itu, aku hanya
ingin kau memperdaya wanita-wanita di clab itu dan mengambil kembali seluruh
uangku, aku sering bersama mereka, membawa mereka ke sebuah hotel, namun belum apa-apa
mereka sudah meminta uangku. Sedikitpun aku tak menyentuh mereka, tapi uangku
raip dan aku pun tak mendapatkan yang ku inginkan, wanita-wanita itu selalu
saja membodohiku dan kali ini aku ingin kau yang membodohi mereka” Negy seperti
sedang mencurahkan semua isi hatinya pada seorang sahabat lama.
Sebenarnya
Maru ingin sekali tertawa, tapi dia berusaha menanhanya dan menanyakan rencana
selanjutnya pada Negy, “lalu bagaimana aku memperdaya mereka semua? dan kau
jangan gila aku sama sekali tak berniat menginginkan hal lain dari wanita
murahan seperti mereka.”
“Bocah
ini!! gunakanlah itu,” sambil menujuk wajah Maru.
“Ini?”
Maru menunjuk wajahnya dengan ekspresi agak bingung.
Negy
mengelang-gelangkan kepalanya, dia kesal karena Maru tidak sadar memilikiwajah
yang cukup tanpan dan menarik, “kau bodoh atau memang tak pernah sadar,
gunakalah ketampanan dan otakmu untuk menarik wanita-wanita itu, jika kau
berhasil tentu saja uang yang ku berikan padamu juga tak sedikit.”
Maru
mulai bepikir, sepertinya hal itu tidak terlalu buruk. Ini bukan sepenuhnya
gigolo mungkin bisa di bilang setengah jelmaan gigolo. “Aku sama sekali tak
berminat dengan wanita-wanita murahan itu, tugasku hanya membawa uang Negy
kembali dan aku akan mendapatkan bayaran,” ucap Maru dalam hatinya.
“Tapi
jika kau gagal...,”
“Aku
akan berhasil, kau tenang saja!” Maru meyakinkan Negy.
“Baguslah,
karena jika kau gagal aku tak punya uang sepeser pun untuk
membayarmu,hahahaha,” ujar Negy sambil tertawa dan menepuk-nepuk bahu Maru.
“Apa?”
Maru terkejut dengan ucapan Negy.
“Kenapa?
Kau bilang akan berhasil,” ucap Negy dengan polosnya.
Maru
kesal, namun dia tetap akan membantu Negy. Dia telah memilih caranya untuk
hidup seperti ini maka dia akan melakukannya sebaik mungkin. “Lebih baik kau
tuliskan siapa saja wanita yang telah memerasmu, aku tak punya banyak waktu
kita akan mulai semua ini besok,” Maru meminta daftar wanita-wanita itu dan
besok dia akan memulai aksinya sebagai seorang gigolo. Negy menyerahkan daptar
wanita-wanita tersebut pada Maru.
“Uangmu
akan kembali dalam satu minggu,” tegas Maru pada Negy. Malam itu Maru tidur di
apatermen Negy, mereka sepertinya mulai akrab dan Maru pun menceritakan tentang
kehidupannya pada Negy.
Malam
pun belalu dan kembali menjadi malam. Maru menuju clab tersebut dia mulai
mencari wanita target pertamanya, setelah bertanya pada setiap orang Maru
mendapatkan wanita yang diketahui bernama Intan tersebut sedang melayani
tamunya yang mungkin tinggal beberapa menit lagi akan menghembuskan nafas
terakhirnya. Pemandangan yang sangat menjijikan untuk Maru. Maru mencoba untuk
tidak peduli dan duduk di samping wanita itu. Baru juga satu detik Maru duduk
wanita itu langsung melirik Maru dan berusaha menggoda Maru. “Apa kau sedang
menunggu teman wanitamu malam ini?” ucap wanita itu dengan belaian tangannya
pada wajah Maru.
Maru
menatap wanita itu dan mendekatkan wajahnya, “aku rasa wanita yang kutunggu ada
dihadapanku,” wanita itu tersenyum dengan manja dan terus menerus membelai
wajah Maru. Maru sebenarnya sangat risih dengan perlakuan wanita yang sedang
bersamanya saat ini, rasanya Maru ingin segera menendang wanita ini jauh dari
hadapannya.
“Berhentilah,
jangan mebelaiterus tubuhku di sini lebih baik kita pergi ke temapt yang lebih
nyaman,” Maru melepaskan tangan wanita itu dan mengajaknya pergi dari clab
tersebut.
“Pergi
ke mana sayang?” ia berkata tepat di telinga Maru, berusaha terus menggoda
Maru.
“Tentu
saja kita harus menyelesaikan semua ini di hotel, tapi aku tak memiliki uang
untuk membayarmu,” ucap Maru sambil terus menatap wajah wanita yang terus
menerus membelai wajahnya.
“Tak
apa sayang, kali ini aku yang akan membayarmu. Kau cukup memberiku seteguk air
untuk mengobati kehausanku yang semakin memuncak,” wanita itu menuntun Maru
sambil terus memeluknya seolah-olah Maru hanya milik dia seorang.
Sesampainya
di hotel Maru menuangkan segelas minuman yang telah ia campur dengan obat
tidur. “Minumlah!” wanita itu langsung meneguknya sampai habis. Dia pun mulai
mabuk dan merasa pusing, Maru memanfaatkan kesempatan ini.
“Aku
tipe pria yang harus dibayar terlebih dulu sebelum melanjutkan sebuah
permainan!!” ucap Maru pada wanita itu dan dengan sendirinya wanita itu
mengeluarkan kartu ATM miliknya.
“Ambil...
lah... berapapun yang kau mau paswordnya ada di handphoneku! Asalkan malam ini
kau menemaniku sampai aku puas,” wanita itu sudah benar- benar mabuk ia
langsung tergeletak di atas kasur dan Maru langsung mengambil kartu ATM yang ia
berikan. Maru kemudian memanggil Negy untuk urusan selanjutnya.
“Aku
akan mengambil uangnya, selanjutnya itu urusanmu mau kau apakan wanita gila
ini,” Maru bergegas meninggalkan mereka berdua. Dia membawa uang sesuai nominal
yang pernah di ambil wanita itu, namun karena Maru pun membutuhkan uang
tambahan ia mengambil semua uang wanita itu.
Malam
itu Maru tidur di kamar sebelah yang telah disewa oleh Negy. Tiba-tiba
pikirannya melayang dan ia mulai teringat pada Naira, seorang wanita yang telah
menghancurkan harapannya wanita yang paling ia benci sekaligus wanita yang
paling ia cintai. Maru hanya bisa menghela nafas menahan rasa benci dan
sayangnya pada Naira.
Tiba-tiba
terdengar suara ketukan pintu dari luar, Maru membuka pintunya dan ternyata itu
Negy, “kenapa kau kemari?” tanya Maru heran.
“Lihat
jam berapa sekarang!? Kalau wanita itu sadar habis kita,” Negy langsung masuk
ke dalam dan mendorong Maru keluar.
Maru
terlihat seperti orang yang kebingungan, dia tidak menyadari semalaman dia
tidak tidur dan hanya memikirkan Naira. Saat dia masuk ke kamar itu, wanita itu
masih tertidur pulas. Maru duduk di ujung tempat tidur, saat menyadari wanita
itu terbangun Maru berpura-pura sedang memasang kancing bajunya. Setelah
selesai Maru menghampiri wanita itu yang masih berbaring dengan mata setengah
mengantuk dan membisikan sesuatu padanya, “terima kasih untuk malam ini,” dan
Maru berlalu dari pandangan wanita itu.
Begitulah
agenda kegiatan maru beberapa hari ini, dalam waktu enam hari dia mampu
mengumpulkan pundi-pundi uang puluhan milyar.
Sudah
sejak lama Maru tak megunjungi kakeknya, sebelum keberangkatanya ke Bali untuk
menjalankan targetnya yang terakhir Maru pulang menemui kakeknya. Maru sangat
merindukan kakeknya itu, namun tak seperti yang Maru banyangkan jangankan
memeluk kakeknya melihat wajahnya pun Maru tak bisa. Saat Maru berkunjung ke
sana rumah itu telah ditempati orang lain karena orang yang memilikinya sudah
meninggal dunia, hati Maru hancur untuk kesekian kalinya. Kebencian Maru
semakin besar pada Naira karena ketika Maru di penjara ia menitipkan kakeknya
pada Naira.
Sampai
di apartemen Negy bertanya pada Maru tentang keadaaan kakeknya, namun Maru tak
memperdulikan Negy dia hanya membawa tasnya kemudian langsung pergi kembali.
Melihat keadaan Maru yang kurang baik Negy tak banyak bicara, dia hanya
mengikuti Maru dari belakang.
Akhirnya
mereka sampai juga di Bali. Saat perjalanan menuju sebuah hotel, mobil yang
dinaiki Maru dan Negy berhenti mendadak karena ada kerumuna orang yang memadati
jalan raya. Negy turun dari mobil karena merasa penasaran, tapi Maru tak memperdulikan
semua itu, dia menutup telinganya dengan airphone. Tiba-tiba Maru dikejutkan
oleh Negy yang memukul-mukul kaca mobil, “Maruu...Maruuuuu...Maruu bocah
tengilll,” Maru membuka kaca mobilnya.
“Apa?”
tanya Maru.
“Kau
harus turu dan memeriksa keadaan wanita
itu!” pinta Negy pada Maru, namun Maru bersikap acuh dan menutup kembali kaca
mobilnya. Negy terus berteriak dari luar dan Maru kembali membuka kaca
mobilnya.
“Pergilah
aku bukan dokter,” Maru menyuruh Negy pergi dari hadapannya.
“Ayolah
Maru, lihat dan tolong wanita yang tertabrak mobil itu,” Negy terus memaksa
Maru.
“Sudah
ku katakan aku bukan dokter,”Maru pun masih tetap dengan pendiriannya.
“Jika
yang tertabrak itu kakekmu atau seorang dari keluargamu gak ada yang bantu kamu
mau itu terjadi, Hah,” tutur Negy dengan cepat. Maru diam dan akhirnya ia mau
menolong wanita itu sebelum wanitaa itu dilarikan ke rumah sakit.
“Kau
itu baik, hanya saja kau begitu dingin!!” ucap Negy. Maru hanya tersenyum sinis
menanggapi pembicaraan itu.
“Aww,”
seorang wanita tak sengaja menabrak Maru.
“Maaf,
saya tidak sengaja,” ucap wanita itu pada Maru. Maru awalnya biasa saja, namun
saat ia melihat wajah wanita itu betapa terkejutnya mereka berdua saat saling
berhadapan satu sama lain seolah tak percaya.
“Maru...”
“Na...i...ra,”
Maru diam ia benar-benar tak percaya akan bertemu Naira di sini.
Naira
langsung memeluk tubuh Maru dengan erat, “Maru aku merindukanmu, aku sangat
merindukanmua.” Naira masih tetap diam, namun ia mencoba mengendalikan perasaannya.
Sampai akhirnya Naira melepaskan pelukannya saat dokter memanggil pihak
keluarga dari wanita yang tertabrak itu. Maru semakin tidak mengerti ada
hubungan apa Naira dengan wanita tersebut, karena setahu Maru semenjak Ibunya
meninggal Naira hidup hanya seorang diri.
Naira
keluar dari ruangan dokter, kemudian dia menghampiri Maru kembali.
“Maafkan
aku Maru,” Naira kembali mengangis di hadapan Maru, namun Maru terlihat tak
inin memperdulikan tangisan Naira.
“Kau
mengenal wanita itu?” tanya Maru penasaran dengan hubungan Naira dan wanita
yang ada di dalam kamar pasien itu.
Naira
tampak tak suka dengan perlakuan Maru padanya dia menjawab dengan nada yang
begitu sinis, “dia putri tiriku.”
Betapa
terkejutnya Maru saat mendengar semua itu, namun Maru tetap ingin terlihat
biasa saja di depan Naira. “Jadi kau sudah menikah, pria seperti apa yang kau
nikahi dengan putri yan usianya tak berbeda jauh denganmu?” tanya Maru pada
Naira. Belum sempat Naira menjawab seorang pria dengan usia tak jauh berbeda
dengan usia orangtua Maru menghampiri mereka berdua.
“Sayang,
apa Hany baik-baik saja?” pria itu bertanya pada Naira. Maru menduga-duga
mungkinkah pria ini suami dari Naira dan ternyata memang benar pria tua itu
suami Naira. Maru hanya tertawa kecil melihat semua ini terjadi dihadapannya.
Sifat Naira yang haus akan kedudukan tinggi dan kekayaan mulai tercium kembali
oleh Maru.
“Kau
pemuda yang telah menyelamatkan putriku?” pria itu menoleh pada Maru.
“Iya
Pa,” jawab Maru sambil menganggukan kepalanya.
“Terima
kasih aku benar-benar berterima kasih padamu,” sepertinya pria ini begitu
mencintai putrinya. Saat ia akan pergi melihat putrinya di kamar pasien bersama
Naira, Maru menarik tangan Naira.
“Apa
yang kau pikirkan saat menikahi pria itu?” Maru bertanya pada Naira.
“Apa
lagi? selain uang dan kedudukan. Aku benci hidupku selalu diinjak-injak oleh
mereka yang memiliki kekuasaan. Aku benci hidup miskin, jadi apa salahnya aku
merubah hidupku saat ini. Kau sudah bebas Maru, kita bisa hidup bersama lagi.
Pria itu sudah tua, aku yakin tak lama lagi dia akan mati dan putrinya pun
sekarang terbaring lemah. Bukankah ini sempurna. Semua hartanya akan jatuh
padaku. Ayolah Maru bantu aku, aku yakin kehidupan di penjara sudah
mengajarkanmu banyak hal tenyang kekuasaan,” Naira mencoba merayu Maru untuk
membantunya mewujudkan impiannya menguasai semua kekayaan pria tua itu.
Maru
mendekatkan wajahnya pada Naira, lalu ia berbisik pada Naira, “Apa yang harus
aku lakukan untukmu Naira.” Gayung bersambut Maru sepertinya mau diajak bekerja
sama dengan Naira, ia terlihat begitu
senang.
“Tunggu
aku, besok aku akan kembali setelah menyelesaikan pekerjaanku,” Maru pergi
meninggalkan Naira, namun Naira menariknya kembali dan memeluk Maru dari
belakang. Naira terlihat sangat menrindukan Maru dan masih mencintai Maru.
Maru
melepaskan tangan Naira yang melingkar ditubuhnya, “Kau bisa memelukku selama
yang kau mau setelah tua bangka itu meninggal.” Naira tersenyum dan Maru pergi
dari hadapan Naira.
Dua
hari berlalu setelah Maru menyelesaikan target terakhirnya dengan wanita yang
ia temui di Bali, Maru kembali datang ke rumah sakit tempat Hany dirawat dengan
maksud ingin melihat keadaan Hany. Ia masuk ke kamar Hany dan di sana sudah ada
Naira dan suaminya serta seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun yang
ternyata putri dari Naira dan suaminya itu.
“Kau
datang ingin menjenguk Hany?” tanya Ayah Hany padanya. Maru hanya menjawab
dengan anggukan dan senyumannya.
“Duduklah,”
Naira mempersilahkan Maru duduk.
“Terima
kasih kau sudah menolongku, jika aku mati mungkin sudah ada orang yang begitu
bahagia saat ini,” Hany menoleh pada Naira.
“Sama-sama,
aku juga ikut senang melihatmu sudah sadar dari kondisi kritismu,” ucap Maru
pada Hany.
“Ku
dengar dari istriku kau sangat mahir dalm bela diri, apa itu benar?” tanya Ayah
Hany.
“Istri
Anda terlalu berlebihan saya hanya menguasai teknik bela diri yang sederhana,”
ucap Maru merendahkan diri.
“Ayah
apa kau berencana menjadikannya pengawalku? Aku tidak mau,” Hany cepat menolak
sebelum Ayahnya berbicara terlalu jauh.
“Hany,
ini demi keselamatanmu! Ayah tidak peduli jika kau tidak mau, Ayah akan tetap
mempekerjakannya untuk menjagamu,” tegas Ayah Hany. Hany terlihat tidak senang
karena ia mencium bau yang mencurigakan dari Ibu tirinya itu, sepertinya ia
mempunyai rencana jahat untuk keluarga Hany dengan menjadikan Maru sebagai
pengawal pribadi Hany.
Maru
terus memantau kondisi Hany di rumah sakit sampai akhirnya dokter
mengizinkannya untuk pulang. Maru memperlakukan Hany dengan baik dan istimewa.
Hany terlihat mulai suka terhadap Maru dan menyingkirkan kecurigaannya pada
Maru selama ini, namun Hany tak memperlihatkan itu semua ia tetap bersikap
waspada dan tidak ingin terbawa oleh perasaanya itu.
Kerja
Maru yang dinilai baik oleh Ayah Hany membuat Maru menjadi orang kepercayaan
Ayahnya Hany. Hal itu membuat rencana Naira semakin mudah ia tak harus susah
payah memastikan suaminya meminum obat yang sebelumya telah ia tukar dengan
obat yang akan membuat suaminya semakin sakit dengan adanya Maru langkah Naira
semakin mudah untuk menggapai kekuasaanya itu. Sudah beberapa bulan ini Maru
lah yang memantau kondisi kesehatan Ayah Hany.
“Maru
apa kau sudah mempunyai kekasih?” tanya Ayah Hany. Maru agak terkejut dengan
pertanyaan itu dan Naira yang sedang menemani suaminya di ruang kerja pun
adalah orang yang paling terkejut mendengar pertanyaan yang suaminya itu, Naira
sangat penasaran akan seperti apa jawaban dari Maru.
“Aku
sudah mempunyai kekasih yang begitu mencintaiku, kenapa Anda menanyakan tentang
ini?” Maru balik bertanya pada Ayah Hany. Naira yang mendengar itu semua merasa
senang dan senyum-senyum sendiri.
“Sayang
sekali, aku melihat kau terlihat cocok dengan putriku,” Maru hanya tersenyum
menaggapi ucapan Ayah Hany. Mereka semua kemudian keluar dari ruang kerja dan
Naira mengantarkan suaminya istirahat di kamar sedangkan Maru menunggu di luar.
Naira ke luar dari kamar, ia menatap Maru dan langsung memeluk Maru.
“Yang
kudengar tadi bukan omong kosong kan?” tanya Naira begitu senang.
Maru
hanya tersenyum dan mengaggukan kepalanya. Naira dan Maru tidak menyadari, Hany
telah berdiri di hadapan mereka berdua.
“Maru...,
kau dan dia? Ada hubungan apa kalian berdua?” Hany shock dengan pemandangan
yang baru saja ia lihat.
Naira
berjalan menghampiri Hany dan berlagak bak sebagai orang yang benar-benar telah
berkuasa, “Hany, Hany, Hany..., kasihan sekali kamu Nak, kamu pikir kamu akan
menang bersaing dengan Ibu, tentu saja tidak sayang. Maru hanya mencintai Ibu
sejak dulu hingga saat ini. Dan kamu tidak ada apa-apanya dibanding Ibu.”
Hany
benar-benar hancur, Hany kira selama ini perlakuan baik Maru padanya adalah
wujud dari kasih sayang Maru pada Hany, tapi sekarang Hany tau bahwa semua itu
hanya taktik dari Maru yang sudah bekerja sama dengan Ibu tirinya untuk membuat
Hany agak lengah. “Kalian semua sama bejatnya, sejak kapan kalian berhubungan
seperti ini, atau jangan-jangan Sury pun bukan putri dari Ayah melainkan hasil
hubungan gelap kalian.”
“Tujuh
tahun yang lalu aku mencintai Ibu tiri mu sebelum ia membuatku membenci cinta
yang aku miliki untuknya,” Naira tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh
Maru.
Maru
menatap Naira dan menghampirinya, “itu tujuh tahun yang lalu Naira.”
Ayah
Hany keluar dari kamar bersama dengan Negy.
“Apa
kau kebingungan istriku?” tanya Ayah Hany pada Naira.
“Apa-apan
inia? Kenapa kau terlihat begitu sehat? Naira sangat kebingungan melihat
kondisi suaminya. Ayah Hany melempar pandangannya pad Maru. Naira menatap Maru
penuh dengan tanya, Naira tak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Apa
kamu bingung?” Maru tersenyum sinis pada Naira dan Naira masih tetap terlihat
kebingungan.
“Aku
tak akan terjebak lagi dalam cintamu Naira, aku sudah tau rencana jahatmu pada
keluargaa ini dan saat aku menerima tawaran untuk bekerja sama denganmu aku tak
sungguh-sungguh menerimanya, aku hanya berpura-pura mengikuti permainanmu dan
kau tau, Ayah Hany sudah sejak lama mengetahui semua itu, tapi dia masih
menggantungkan harpannya agar kau biasa berubah. Saat kau mencoba membunuh Hany
ia sudah geram dengan perlakuanmu dan ketika aku bertemu dengan Ayah Hany dia
yang memintaku untuk membantunya dan mebuatmu benar-benar sadar,” ucap Maru
dengan emosi yang agak memuncak.
“Ini
gak mungkin, ini gak mungkin, lalu obat yang aku berikan padamu kapan kau
menggantinya?” tanya Naira pada Maru.
“Negy...,
dia yang membantuku menukar obat itu dengan obat yang asli. Aku dulu calon
dokter Naira, calon dokter yang mengorbankan dirinya demi wanita serakah
sepertimu. Kau telah berhasil mengancurkan hidupku Naira, membuatku menanggung
kesalahanmu, dan menelantarkan kakekku hingga ia meninggal dunia. Semua itu
sudah cukup terjadi padaku dan aku tiadk akan penah membiarkan semua itu
terjadi pada keluarga ini,” Naira seolah
tidak percaya denga apa yang ia dengar. Naira telah mengahncurkan dirinya
sendiri.
“Menyerah
dan bertobatlah, saat ini sudah ada polisi di belakangmu,” ucap Ayah Hany pada
Naira.
Polisi
langsung mengamankan Naira, namun Naira berontak dan berhasil mengambil pistol
yang ada pada polisi tersebut.
“Kalian
jangan mendekat,” Naira mengarahkan pistol itu pada semua orang dan mereka
semua mundur.
“Maru,
sampai kapan pun akan tetap mencintaimu. Aku mohon maafkan aku atas kesalahnku
di masa lalu aku hanya takut hidup sengsara di penjara dan aku tak pernah
bermaksud mengabaikanmu Maru. Dan kamu suamiku, aku memang tak pernah
mencintaimu, tapi dalam hatiku kau telah menjadi sosok seorang Ayah untukku.
Terima kasih untuk kalian semua. aku tak ingin hidupku berakhir di penjara,”
Naira mengarahkan pistol itu padanya dan menembak dirinya sendiri.
Keserakahan
dan kekuasaan benar-benar membuat Naira buta, setelah kepergian Naira, Maru
mulai menata kembali kehidupannya dari awal, dia sering berkujung ke makam
Naira dan kakeknya. Hari itu dia baru pulang mengunjungi makam keduannya dan di
tengah perjalanan pulang ia bertemu dengan Hany.
“Hany,”
sapa Maru pada Hany.
Hany
menoleh dan tersenyum pada Maru, “Maru, kau sudah mengunjungi mereka berdua.”
Maru hanya mengagnggukan kepalanya.
“Apa
Naira akan marah padaku, bahkan aku pun tak tau sandiwara yang kau lakukan
dengan ayah,” Maru kembali tersenyum.
“Kenapa
kau diam? Apa Naira benar-benar marah padaku?”
Maru
terus saja tersenyum dia memegang tangan Hany, “Naira tak akan marah, bahkan
meskipun sekarang aku mulai mencintai orang lain.”
Mereka
saling melepaskan pelukannya dan tesenyum bersama sambil melihat ke atas langit.
Langganan:
Komentar (Atom)




